Sunday 14 September 2014

My Blog. My Journey: 17 Keunikan mereka !

My Blog. My Journey: 17 Keunikan mereka !: Ini adalah tentang mereka yang menghebatkanku lewat keunikan mereka.  Bagaimanapun mereka, aku yakin Tuhan telah menyiapkan segala keunikan...

Tuesday 25 February 2014

Sepenggal Kisah tentang Kwarran Kokas

Rapat Pembentukan Kwarran Kokas Januari 2014

Sudah beberapa hari ini aku hanya mengajar setengah hari, hal ini terpaksa aku lakukan karena aku sedang menyiapkan kegiatan di distrik. Kegiatan yang ku harap bisa menjadi pijakan awal bagi distrik untuk memulai mengibarkan panji – panji tunas kelapa. Ini adalah salah satu capaian dambaanku, mengadakan perkemahan tingkat distrik dan membentuk Kwarran serta DKR. Sederhana sekali bukan. 

Rapat demi rapat telah aku galang, sebagai stimulant untuk orang – orang distrik terutama guru – guru aku menggandeng salah satu guru SMP yang juga gemar pramuka. Ci Halifah, begitu aku memanggilnya. Aku akan menceritakan siapakah dia di episode yang lain. Hahhaha. Aku diskusi lebih dalam tentang pembentukan Kwarran, sebagai pemula aku juga harus belajar. Segala informasi kuhimpun, kemudian aku transfer ke ci Halifah. Kami membentuk tim formatur di pertengahan Januari, sungguh kami harus bekerja keras untuk hal ini. beberapa kali pertemuan nihil hasilnya, tapi berkali itulah kami memulai cara baru untuk mengajak yang lain turun tangan. Jika prosedur yang benar itu runtun dari A- Z tapi kami belum bisa melaksanakan prosedur itu kali ini. Musyawarah tanggal 24 Januari 2014 telah membuka lembaran baru bagi pramuka distrik Kokas. Ketua Kwarran telah terpilih dan aku begitu lega. Pada musyawarah kali itu aku benar – benar jadi penonton, aku percayakan pada ci Halifah dan Ka Amansyah untuk hal itu dan di dampingi seorang andalan dari Kwarcab. Berjalan dengan baik.


Segala hal yang berkaitan dengan pelantikan Kwarran dan mabiran telah aku siapkan, menghubungkan kwarran dengan Kwarcab pun tidak begitu menjadi masalah besar, setelah musyawarah kemarin kami sepakat untuk mengadakan pelantikan di momentum Boden Powell 23 Februari 2014. Hanya selang 3 minggu saja, yah aku berusaha semaksimal mungkin agar pelantikan itu berjalan.

Yah, kebanyakan dari pengurus kwarran atau mabiran tidak punya baju pramuka. aku memahami itu karena ini baru. Di kotapun tidak ada yang jual baju pramuka untuk pembina, kalaupun harus menjahit bisa jadi harga kain dan ongkosnya 4x lipat dari harga di jawa. Entahlah bagaimana ceritanya, mereka meminta saya memesan dari Serang. Yah aku menyanggupinya asalkan mereka siap mengganti harga dan ongkos kirimnya.

kebetulan, kali itu lencana Mabiran, Kwarran sedang kosong di Kwarcab menjadikan aku berpikir bagaimana caranya agar saat hari pelantikan barang itu ada. Mencoba menghubungi relasi yang ada di Sorong, tapi nihil. Akhirnya aku memutuskan untuk memesan dari Serang dengan bantuan Jenal dan dedeh (adikku di Racana Untirta). Merekapun mengirimkan lencana dan beberapa baju serta perlengkapan pramuka yang tidak ada di sini.

Paketan Lencana & Seragam Tak Kunjung datang :’(
Normalnya mengirim barang dari Jawa ke Fakfak itu satu minggu hingga sepuluh hari. Beberapa kali aku mengecek resi online barang- barang itu sudah di Sorong, yah aku pikir sebentar lagi akan tiba. Berkali aku datang ke kantor pos dan nihil, aku sudah khawatir. Orang – orang sudah resah karena tanggal pelantikan semakin dekat, ingin memakai seragam pramuka itulah sebabnya. Aku lebih khawatir karena takut orang – orang marah barang tidak sampai dan tidak mau membayar baju yang sudah di pesan. Jadi ke khawatiranku bertumpuk, hingga hari kamis 20 Februari 2014  paketan itu tak kunjung datang. “Kapal dok, jadi tarada kapal masuk ke fakfak, barangkali besok ada Tatamailau dari sorong ka.” Yah hampir semua orang yang aku tanya di kantor pos menjawab demikian. Memang dua minggu ini tidak ada kapal masuk sehingga barang – barang pos tidak bisa di distribusikan. Akhirnya aku pasrah, Allah tahu yang terbaik. Aku kembali dan mengabarkan kalau paketan itu tidak ada termasuk lencana untuk pelantikan.
Hening. Tak ada yang membalas aku tahu mereka kecewa. Pun aku, tapi tidak ada yang salah dalam masalah kali itu.

Keajaiban itu ada....
Jumat siang, saat peserta jambore sudah hadir dan kami mempersiapkan upacara pembukaan. Ada seorang teman datang menghampiriku, ada kiriman barang dari Jawa. Aku masih tak yakin itu adalah paketan yang aku tunggu. Aku lemas, tak bisa berkata apa – apa saat Fajri mengangkat 2 kardus besar dari dalam taksi. “Ya Allah, terimakasih ...” batinku sambil menahan luh. Fajri di telpon petugas kantor pos dan di minta mengantarkan barang – barang itu. Lega....












Hari Pelantikan itupun tiba....
Majelis Pembimbing Ranting, Kwarran dan DKR Kokas 23 Februari 2014
Lepas upacara HUT Boden Powell, unsur Mabiran dan Kwarran berjalan menuju Gedung pertemuan distrik yang letaknya tak jauh dari Lapangan. Pelantikan di lakukan terpisah demi hikmatnya prosesi pelantikan. Aku memang tidak ada di ruangan itu, karena aku harus mengurus kegiatan Jamboree di Lapangan. Aku memang tidak di sana, tapi doaku mengalir bersama mereka. Berharap ketika aku sepulangnya aku dari sini, Kwarran Kokas sudah mandiri dan bisa mengibarkan panji – panji pramuka itu di daerah basis perang dunia ke dua. 

# Setidaknya sepulangnya aku dari sini, Kwarran dan DKR Kokas telah terbentuk dan satu panji berkibar gagah di belahan timur Indonesia. Tunas kelapa itu akan tumbuh kuat mengakar di sana dan menjadikan penyulut semangat untuk tunas - tunas lainnya.

Friday 14 February 2014

Merekalah Obat Mujarab

Semalam sudah cukup begadang dengan rasa sakit yang tak tertahan. Ini adalah kali pertama aku mendapati sakit seperti ini, beberapa treatment kecil sudah aku lakukan. Menggosok minyak, memijitnya dan menalinya erat agar sakit ini bisa sedikit reda tapi alpa. Listrik telah padam, hanya lampu cas kecil menggantung diruang tengah. Itu adalah sumber cahaya satu—satunya di rumah kami ketika listrik telah padam. Gemuruh angin dan riuh hujan menelan eranganku malam ini, yah diluar sana hujan membungkus kampung dengan lebatnya. Mungkin saja didepan rumah air sudah menggenang. Seisi rumah telah mengayuh malam bersama mimpi, hanya tinggal aku yang merintih menahan sakit yang tak karuan. Jika boleh memilih sakit maka aku tak akan memilihnya. Malam itu menjadi malam paling panjang untuk di lalui, berkali aku mengganti posisi tidur ke duduk, tengkurap dan terlentang tapi rasa sakitnya semakin hebat. Rusuk belakang sebelah kiri, yah kurang lebih disanalah pusat sakit itu turun hingga ke pinggang dan tembus ke perut depan. Klimaks, aku menangis sejadinya. Beberapa lembar tisu terhambur di lantai keramik bercorak merah muda itu. Yah, tangisku semakin kuat saat ngilu dan nyeri beradu. Aku begitu merindukan Emak, bisa jadi kalau ada emak sekarang aku sudah mendapat penanganan yang lebih. Ah, aku terlalu manja karena sakit ini. Bukankah seharusnya aku bisa menghadapinya tanpa menjadi cengeng seperti ini.
Aku kembalikan semua pada Allah, segala kemungkinan terburuk membayang. Hingga akhirnya setelah lail, aku tertidur sejenak.
Pagi itu, aku pikir sakitku berangsur reda hingga aku putuskan untuk tetap kesekolah. Di luar hujan masih memeluk erat sepanjang mata memandang. Sepanjang jalan air mengenang menyebabkan cipratan air ketika motor melintas kencang. Pagi itu, masih gelap meskipun jam tangan hitamku menunjukkan pukul 07.30 WIT.  Sekolah masih sunyi, hanya beberapa anak yang datang dengan payung dan ada yang membawa pelepah pisang sebagai payung. Aku menembus tanah lapang yang becek dan sedikit berlumpur depan kantor demi mencapai kelasku. Seperti biasa aku melakukan apersepsi di awal pembelajaran sambil menunggu anak—anak yang lain datang. Baru 7 orang saja yang datang, normalnya ada 16 orang. Jam pertama kami bermain dengan satuan waktu, harusnya materi ini disampaikan di semester satu tapi waktunya tidak cukup sehingga aku harus membayarnya disemester dua. Semua berjalan dengan baik dan sakitku kembali terasa saat istirahat tiba.
“Ibu, ibu pi pulang sudah. Ibu pu muka su pucat begitu.” kata Milham yang tahu aku mulai menahan sakit. Tapi aku tersenyum menimpali usulnya itu.
“ Tuhane, ko liat ibu su pucat begitu. Aduh ibu, katong antar pulang sudahe.” tambah Astuti sambil mendekatiku.
“Ah, tarada ibu baik—baik, sekarang ko pi istirahat sudah, sedikit lagi masuk lho.” aku berusaha menyembunyikan sakitku tapi gagal.
“ Ibu, katong pijat ibu sudahe.” Onah mendekat dan mulai memijat bahuku. Disusul Astuti yang membantu memijat lenganku.
“Ibu, naik pi rumah sakit sudah. Biar ibu cepat sembuh to.”
“ Terimakasih yah.” kataku lirih. Aku menahan luh, bukan karena sakit ini tapi karena haruh melihat niat baik anak—anak dan betapa mereka sangat menyayangiku dengan cara yang kadang sulit aku pahami.

Bel masuk telah berbunyi, anak—anak menghambur masuk. Sambil menahan sakit aku memberikan ice breaking demi membawa anak—anak ke alpha zone. Kami akan belajar Bahasa Indonesia kali itu, dan sakitku semakin kuat terasa. Berkali anak—anak memintaku untuk pulang dan istirahat tapi aku menolaknya aku meyakinkan mereka aku baik—baik saja.
Sepanjang pelajaran berlangsung mereka begitu tenang menerima penjelasanku, karena tadi Ismail sudah mewanti—wanti mereka untuk tenang dan tak membuat aku kesal hari ini.
“Sebentar sapa yang baribut to katong marah dia, kalau tidak katong pukul dia. Sapa yang bikin ibu marah berarti dong tara sayang ibu. Kasiane ibu sedang sakit begitu.”
Yah aku dengar saat dia mengatakan itu diluar sebelum masuk jam Bahasa Indonesia. Benar saja mereka begitu menyenangkan, aku berharap ini akan permanen bukan hanya karena aku sakit saja. Klimaks siang itu, nyeri yang begitu hebat bak mencabik rusuk kiriku. Aku tak bisa menyembunyikan sakitku benar. setelah berdoa pulang anak—anak membantuku turun ke kantor dan aku bersandar cukup lama di tembok sambil menahan sakit. Dan pelan aku menyusuri sepanjang jalanan berair menuju rumah sambil menahan sakit yang tak karuan.
"Besok kalau ibu masih sakit, ibu istirahat di rumah sudah. katong tara tega lihat ibu sakit begini." kata - kata Ismail terniang sepanjang jalan. " Ibu pasti sembuh sayang, dan esok ibu pasti mengajar." timpalku tadi.
Benar saja, keesokan harinya tawa renyah anak - anak membius sakitku dan mengalihkan fokus sakit kali itu. aku tahu, mereka adalah obat mujarab bagi segala sakit selama aku disini. melihat mereka begitu antusias menyanyikan lagu "Good morning everybody how are you... " menjadikan aku malu " Maafkan ibu nak, semoga kalian tak malu punya guru serapuh ibu, tapi ibu berjanji akan belajar menjadi kuat dan tak cengeng seperti hari kemarin demi kalian." batinku sambil menguliti senyum mereka pagi itu dan aku sadar merekalah obat mujarab bagi sakitku. tetaplah bersinar nak...

Thursday 2 January 2014

Pramuka bukan masalah A B C D ...


Aku bersyukur Tuhan telah mempertemukan aku dengan mereka, seperti menemukan permata dalam lumpur kedua kalinya, setelah aku menemui anak – anak hebat di SD kini aku menemukan semangat membara di mata mereka. Mereka adalah anak – anak SMA yang berhasil kuracuni dengan Pramuka, bukan racun dalam arti sesungguhnya.

Awalnya, aku putus asa ketika aku mulai membuka ekstrakulikuler pramuka di SMA. Hanya ada dua orang saja Sri dan Marten yang hadir tiap latihan. Segala capaian dambaanku tentang kepramukaan hilang di awal – awal bulan pertama latihan, sempat ingin mengakhiri saja ekstrakulikuler itu karena tidak begitu mendapat respon yang baik dari warga sekolah termasuk guru- guru. Tapi niat burukku itu tidak di restui oleh Allah nampaknya, karena semangat Marten dan Sri yang begitu luar biasa mereka berhasil mengajak anak – anak yang lain bergabung. Tanpa seragam pramuka pastinya, sungguh mereka datangpun itu sudah cukup membuatku senang.
Mengajarkan pramuka itu bukan masalah A B C D, atau masalah AD ART/ SKU dan berkemah terlebih pada usia penegak seperti mereka. Ini jauh lebih menantang dari pada mengajarkan penggalang menghafal morse atau semaphore. Akhirnya aku membuat kesepakatan dengan mereka untuk belajar memantaskan diri menjadi pramuka bersama – sama. Menjadi teman bagi mereka, yah itu yang kulakukan agar aku bisa masuk ke dunia mereka. Aku belajar untuk tidak menggurui, tapi menunjukkan yang aku tahu. Latihan demi latihan telah kami lewati, akhir semester ganjil menjadi momentum paling di tunggu bagi mereka, karena aku telah menyiapkan Persami. Dengan dana Rp. 0,-  aku menyetting kegiatan perkemahan yang merupakan perkemahan pertama seumur hidup mereka, menyiapkan kegiatan yang menarik agar mereka tidak kecewa. Tentu saja dengan bantuan mereka semua. Alhamdulillah kegiatan itu berjalan baik, 30 anak ikut serta dalam kegiatan kali itu. Sedikit demi sedikit aku mengenalkan mereka dengan kode etik pramuka, dan segala hal yang berbau pramuka. Perkemahan sederhana yang aku rencanakan itu, aku berharap menjadi jembatan awal dan pembelajaran bagi anak – anak yang ikut. Sungguh aku tak membuat kegiatan yang muluk, yang terpenting mereka tahu prosesnya agar nanti mereka tahu dan bisa membuat kegiatan yang lebih besar dari perkemahan kecil di akhir desember 2013 ini.

Melihat mereka begitu semangat dan antusias menjadikan aku haru, sayang aku hanya sebentar saja di sini batinku. Tapi bagaimanapun aku aku yakin mereka adalah anak – anak pilihan yang sengaja di kirimkan Allah untuk mengajariku lebih banyak hal.  Bersama mereka aku tak hanya belajar untuk menjadi pramuka sekedarnya, tapi belajar menjadi pramuka sebenarnya...


Makrab 14-15 Desember 2013


Saturday 30 November 2013

Katong Pulang Sudah (Jakarta part 2)


Katong Pulang sudah...
Ini adalah hari jumat, berarti sudah 3 hari kami di Jakarta. Pagi ini kami telah bersiap untuk kunjungan ke Kemendikbud, wajah berseri 5 anakku mengalihkan perutku yang keroncongan karena tak sempat sarapan pagi itu. Aku lega akhirnya mereka bisa membaur dengan teman—temannya, meskipun mereka masih banyak diam. Semoga diam mereka adalah proses mencerna dan belajar. Panitia membagi mereka menjadi 5 kelompok dan membagi bisnya. Beruntung pagi itu tidak macet, pelataran Kemendik menyambut langkah kecil ke 175an peserta KPCI kali itu. Ruangan besar di lantai 3 telah tertata rapi, setelah acara ceremonial selesai tiba saatnya mendengar penganugrahan piala untuk penulis cilik. Berkali aku membesarkan hati anakku, “meskipun kalian tidak ada yang berdiri diatas sana sebagai juara, tapi bagi ibu kalian semua adalah juara buktinya kalian su sampai disini to?,” kataku pada Tresia dan Fikram yang termangu menatap teman—temannya di depan menerima hadiah. Bukan hanya anakku saja yang ingin menerima gelar sebagai juara, pun peseerta lainnya. “Dong hebat ya ibu.” kata fikram
“kalau mau seperti mereka to, kamong harus rajin belajar menulis dan membaca buku.” timpalku. Membaca? Membaca keadaankah? Buku baca untuk anak—anak di tempat mereka masih sangat terbatas, toko bukupun belum ada. Perpustakaan daerah sangat sulit dijangkau karena jaraknya yang jauh. Terlebih untuk anak Pulau, untuk Fakfak dengan kondisi geografis yang unik itu membutuhkan perpustakaan apung sepertinya.
Acara telah usai, peserta putri makan siang sambil menunggu peserta putra solat jumat. Mereka mencari posisi ternyaman untuk makan, ada yang duduk di lantai, bersandar di tembok dan sebagaian di kursi yang tersedia. Aku menyapu lorong lantai 3 mencari dimana Tresia berada, aku menemukan dia duduk di dekat anak tangga. Wajahnya kuyu, seperti tidak bersemangat.
“sudah makan sayang?,” tanyaku sambil jongkok. Dia tak menjawab, hanya menggeleng ringan.
“kenapa? Kamu sakit kah?,” tanyaku lagi. Dia tak menjawab, aku buka kotak makannya. Utuh. Dia tak makan sepertinya. “kamu kenapa tara makan, kau pu perut sakit ka atau pusing?,” tanyaku ulang.
“ibu sa makan macam tara enak, sa pusing makan makanan begini.” jawabnya
“baru kamu tara makan apa– apa, nanti kau pu perut sakit bagaimana?,” balasku.
“Ibu, kapan katong pulang. Katong mau makan keladi.” tambahnya pelan.
Deg, serasa senyap disekitar. Aku tak membayangkan bagaimana rasa rindunya pada keladi. Aku memeluknya, “kamu mau makan keladi? Tapi disini tarada keladi sayang. Makan nasi kosong sudah, sedikit saja. Sebentar kita cari jajan yang kau mau” balasku. Ternyata pagi tadi dia tak makan juga, pantas sepanjang kegiatan ia tak semangat seperti hari sebelumnya. Aku membantunya membereskan makan yang tak dimakan. Aku minta dia masuk ke ruangan bergabung dengan teman—teman kelompoknya. Aku bertanya apakah panitia menyediakan keladi atau kasbi (Singkong) karena Tresia tidak mau makan dari pagi. Well, untung panitia begitu tanggap, tak lama ada yang pergi membelikan ubi dan singkong goreng.
Di satu sisi, keempat anak lelaki itu makan dengan lahab. Tapi banyak lauk yang tak dimakan, mereka bilang itu tidak cukup enak di perut mereka. Maksi makan kue bolu berwarna pink muda itu banyak—banyak. Dia suka nampaknya. Mbak dini, salah satu panitia terlihat senang ketika melihat Maksi makan banyak tidak seperti Tresia tadi. Ketika panitia yang membeli singkong goreng itu datang aku memanggil Tresia, binar wajah Tresia berganti saat melihat singkong goreng di plastik. Ia makan banyak—banyak. Lega, saat senyum Tresia mengembang lagi siang itu.
Karena terlalu banyak, Tresia menyimpannya untuk dimakan sore nanti. Kami kembali ke ruangan. Tak lama setelah makan siang, kami bersiap untuk melanjutkan kegiatan yang ditunggu—tunggu oleh hampir seluruh peserta yaitu ke ‘Kidzania’ . Sebagaian peserta yang datang dari jakarta dan sekitarnya sudah pada tahu tempat apa kidzania itu, tapi tidak untuk 5 anakku. Setelah turun dari bis, semua menghambur ke bangunan penuh lampu itu. Anak—anak menaiki eskalator. Kali itu aku tidak lagi khawatir karena mereka sudah aku training naik eskalator kemarin di bandara Makasar. Setelah masuk di kidzania, wajah semua peserta berubah. Yang tadi sedih menjadi riang, yang sakitpun sembuh instant. Lalu 5 anakku wajahnya sumringah, tak bisa menggambarkan betapa senangnya mereka. Aku membiarkan mereka memilih menu permainan yang mereka suka, Sulthon yang bergabung dengan teman—teman kelompoknya belajar membuat silverqueen, tango dan menikmati menu belajar lainnya. Tresia dengan Novi anak Rote menikmati Modeling Schoolnya Gatsby dan belajar berjalan diatas cat walk. Maksi, Mai dan Fikram mencoba menjadi supir taksi, ikut balap mobil, membuat SIM dan mereka menikmatinnya. Ah, semoga keceriaan mereka bertahan sampai di Fakfak nanti. Mereka mengumpulkan uang yang mereka dapatkan, mereka membelanjakan uangnya di kedai—kedai yang tersedia. Mereka senang bukan main.
Jam tangan Q & Qku menunjukkan pukul 17.30 WIB waktunya kembali ke hotel. Kami menuruni eskalator menuju lobbi depan. Seperti biasa suguhan jakarta dengan macet yang cukup tidak wajar, kami terpaksa harus menunggu bis cukup lama. Wajah ceria yang tadi mereka punya seketika berubah. Aku kembali mengalihkan bosan mereka dengan meminta mereka bercerita menu permainan apa yang sudah mereka coba barusan. Mentah. Mungkin mereka lelah. Kami menikmati 20 menit masa menunggu bis keluar dari parkiran. Berdiri disampingku Maksi dan Tresia, sedangkan yang lain mencari posisi nyamannya. “Ibu, baru katong besok pi mana?,” tanya maksi mengawali.
“Besok kamong jalan—jalan dulu to? Ke Monas, toko buku cari oleh—oleh apa?,” jawabku sambil menundukkan kepalaku demi melihat matanya yang lelah. Dia menaikkan dagu sambil tersenyum datar, senyum yang ia berikan saat lelah dan tidak suka. “baru kapan katong pulang?,” tambahnya.
“Nanti kalau su dapat tiket, sebentar ibu beli tiket dulu.” aku menepuk bahunya.
“Ibu, katong pulang sudah...,” balasnya membuat aku mengernyitkan dahi.
“Maksi, kenapa pengen pulang. Kita belum jalan—jalan lagi.” tambahku. Tresia hanya menjadi pendengar kali itu. “katong su rindu pinang, ibu.” jawabnya jujur. Tresia tertawa kecil, aku menggeleng sambil menghela nafas. Aku tatap mata Maksi dalam, aku mengusap kepalanya berkali.
“Kau, masih bisa tahan tara makan pinang sampai hari senin ka?,” tanyaku, dia tak menjawab ekspresinya sama mengangkat dagu sambil menyunggingkan senyum datarnya.
“disini tarada yang jual pinang lai, bagaimana kalau kau makan gula—gula saja.”tawarku mencari solusi. “Gula—gula tara enak ibu.”timpalnya. Sedangkan Tresia terkekeh saat mendengar pengakuan Maksi tentang Pinang. Aku tidak bisa melarangnya untuk tidak rindu dengan pinang, tapi kali ini aku kehabisan akal bagaimana mencari pinang di Jakarta? Aku merangkulnya.
“Sabar yah, kalau kau su sampai Fakfak kau bisa makan pinang banyak—banyak.” tambahku tak mengobati rindunya. Maafkan ibu nak, tidak menyiapkan apa yang biasa dekat dengan kalian. Batinku sepanjang jalan menuju ke hotel. Mungkin saja kalian rindu dengan mama dan bapak.
Karena ini adalah kali pertama untuk Tresia, Maksi, Sulthon dan Fikram pergi lama dan jauh dari keluarganya. Tapi ibu sudah berusaha menjadi orangtua kalian meskipun tidak sehebat mereka. Ah, aku menitikkan luh juga akhirnya. Aku tak bisa memaksakan anak—anak itu betah di Jakarta dengan kerinduannya pada keladi, pinang yang sesungguhnya itu hanya secuil dari kerinduan mereka pada keluarganya. Macet senja itu terbungkus dengan keharuan mendengar pengakuan rindu dari Tresia dan Maksi. Malam itu juga aku berjanji akan mencari tiket untuk pulang ke Fakfak, mencari penerbangan tercepat dengan budget yang kami punya. Sabar nak, kau hebat pasti bisa menahan rindu sedikit lebih lama dari teman—teman kalian lainnya. Senyum kelima anak hebat itu bermain di langit—langit bis yang aku tumpangi. Gemerlap lampu kota bisu menina bobokan seisi bis yang nampak lelah. Esok akan ada kisah baru bersama mereka... Percayalah :)



Katong Pi Jakarta (Jakarta Part 1)


Ini adalah hari ketiga petualangan mereka di Jakarta. Mengenalkan mereka pada ibu kota negara yang sering diagung—agungkan orang kampung. Baiklah aku akan menceritakan asal muasal kenapa aku dan 5 anak hebat ini ipi kompetisi sesungguhnya. Bahkan sebelumnya mereka tak pernah mengikuti lomba sejenisnya, tapi keberuntungan memihak mereka sehingga keluarlah nama—nama mereka di daftar peserta KPCI. Yah namanya Konferensi Penulis Cilik Indonesia. Tidak mudah untuk bisa sampai di Jakarta, setelah ribet dengan urusan birokrasi dan minimnya dana yang ada menjadikan tantangan apakah mereka berlima bisa hadir di acara tersebut. Aku yakin, Allah akan memberikan jalanNya. Sempurna, ada jalan yang tak disangka. Padahal itu sudah di lobbi juga. Senin sore setelah fix mendapat tiket untuk terbang aku dan salah seorang temanku. Sebut saja Mike nama sesungguhnya, memutuskan untuk naik kampung. Tidak dengan kendaraan umum yang biasa kami pakai untuk ke kota pastinya, karena sudah tidak ada taksi yang jalan di tengah sore menjelang petang begini. Meminjam motor, begitulah jawabnya. Menghitung kilometer yang panjang, 2 jam bersama gelap hutan dan dingin yang menusuk. Sorot jupiter MX itulah yang menjadi penerang sepanjang jalan. Suara jangkrik dan binatang malam menambah sempurna suasana hutan malam itu. Lelah beradu bersama kantuk, kalau tidak sedang dijalan mungkin aku sudah jalan—jalan bersama mimpiku. Ah, aku harus menahannya demi esok pagi. Diujung mata memandang binar lampu kampung Pikpik memancar, memberikan jawaban jika sebentar lagi aku bisa rebahan atau sekedar bersandar. Rumah kepala sekolah SD si Mike menjadi persinggahan pertama dan berlanjut ke rumah hostfam’nya. Setelah merampungkan urusan dengan orangtua murid yang akan ikut berangkat, akhirnya aku bisa benar—benar rebahan di kamar penuh ilmu pengetahuan. Hahhaha, aku suka geli jika menyebut kamar itu. Mike memberi nama kamarnya demikian karena dikamarnya ramai dengan buku—buku. Well, itu tak penting karena esok hari aku harus melanjutkan perjalananku ke kampungku yang kira—kira satu jam dari kampung ini.

sampai di Jakarta. Ajang menulis bergengsi yang diadakan Kemendikbud dan Mizan telah membuka kesempatan bagi anak—anak Fakfak untuk mencic
19 November, aku telah berada di kampungku sekarang. Setelah menyampaikan beberapa hal pada orangtua Sulthon dan Fikram aku kembali lagi ke kota dengan jupiter MX itu lagi. Entah bagaimana ceritanya, Mike lupa ngisi bensin sehingga menyebabkan aku deg—degan setengah mati takut kehabisan bensin ditengah jalan. Ga siap aja dorong motor sampai di kota. Hahhaha, benar saja demi mengurangi resiko ngedorong motor maka setiap jalan turunan kami matikan mesin hahhaha ini demi ngirit. Finally, kami sampai di kota dengan selamat tanpa ngedorong motor. Bagaimana rasa tubuhku saat itu? Akupun tak bisa menceritakan. Kantuk, lelah dan begitu banyak pending matters yang harus diselesaikan ditambah kami langsung ada rapat dengan dinas siang itu. Jika boleh memilih, aku ingin tidur sesiangan. Tapi lagi—lagi demi esok pagi aku harus keluar dari pilihanku dan mengerjakan hal yang semestinya aku kerjakan demi esok pagi.
Malam tidak membiarkan aku tidur lebih cepat karena beberapa hal yang harus aku siapkan. Baik aku akan kenalkan siapa saja yang akan ikut serta dalam petualangan kali itu ada Sulthon yang luar biasa unik, Fikram. Mereka berdua ini dari Sdku. Ada Maksi yang sering dipanggil maksimal, juga Tresia yang paling cantik diantara mereka berlima. Mereka berdua dari SD Mike. Terakhir yang paling cool diantara yang lain adalah si Saharudin, nama beken dikampungnya Mai. Dia dari SD si Fajri. Dan aku sendiri adalah orang yang paling ayu dan ngangenin di antara 6 temanku, hahhaha jangan percaya yah kalu belum ketemu aku.
Nokiaku berbunyi berkali menunjukkan pukul 4, berarti tidurku harus disudahi. Aku membangunkan mereka berlima dan meminta mereka untuk bergegas mandi. Jam 5.30 kami menuju bandara, masih senyap. Ruas—ruas jalan masih kosong, udara pagi itu menusuk pelan.
“ah, aku masih belum percaya jika hari ini anak-anak ini akan berangkat ke Jakarta. Meskipun si Mai sudah pernah mengikuti ajang menulis di bulan kemarin.” batinku sambil menguliti senyum renyah anak –anak dalam taksi. Apron Torea itu sudah penuh dengan orang, karena Wings Air menuju Sorong sudah nangkring di atas lapangan landas. Kami harus melakukan perjalanan jauh  lewat Sorong, pindah pesawat transit Makasar  barulah sampai Jakarta. Ini semua karena tiket Fakfak—Jakarta habis, tak seperti biasanya bukan? Berkali aku sudah mengingatkan anak—anak untuk saling menjaga dan membantu dengan begitu mereka telah menolongku. Ini adalah kali pertama aku melakukan perjalanan jauh dengan 5 anak sekaligus.
Binar mata anak—anak mengatakan betapa mereka bahagia saat menaiki anak tangga Wings air menuju badan pesawat. Perjalanan satu jam menuju Sorong telah habis, doaku saat itu tak banyak mereka mendengar apa kataku dan tidak mabuk perjalanan. Matahari Domine pagi itu sedikit terik, asap rokok mengepul ringan di lorong kedatangan. Setelah mengambil barang—barang kami menyusuri aspalan menuju tempat pemberangkatan.
“Ibu, katong naik pesawat lai jam berapa?,” tanya Maksi
“Jam 11, jadi kita harus nunggu dulu yah.” jawabku sambil mengusap rambut keritingnya.
“ Oh mamae, katong harus menunggu lama begitu Ibu. Sekarang saja baru jam 7.30.” tukas Sulthon.
Benar, kami harus menunggu 3,5 jam ini bukan waktu yang sebentar. Semoga mereka tidak bosan, doa tambahanku. Setelah sarapan soto di kantin bandara, kami hanya duduk—duduk di depan bangku ticketing. Gesture mereka mengatakan ‘bosan’ ditambah terik yang menghardik pagi itu.
“sabar ya nak, sebentar lagi kita bisa check in dan kalian tidak akan kepanasan lagi kalu su di dalam” kataku mencoba menyabarkan mereka. Padahal aku paling tidak sabar menunggu juga, tapi kali itu aku harus memakai topeng untuk menutupi ketidaksabaranku didepan anak—anak.
“Brruuuuk...” suara koper milik Sultho jatuh bersama orangnya. Aku beranjak dari dudukku dan menghampiri dia yang meringis kesakitan.
“Nah, kau tara dengar apa kata ibu to. Jadi syukur kau jatuh...’ kata Fikram ketika melihat sulthon jatuh. “usssst.....” aku memalingkan wajahku pada Fikram dan 3 anak yang lain agar berhenti mengejek. Dari 10 menit yang lalu Sulthon sibuk dengan kopernya, ia duduk diatasnya dan didorong-dorong macam mobilan. Akhirnya ia jatuh.
 ................ bersambung

Wednesday 30 October 2013

Nenek Koyar Tara Kosong'e....

Matahari terik diluar sana, aku baru menyelesaikan satu SK—Kd tentang KPK bersama anak—anak hari ini. Senang karena hari ini anak—anak telah merampungkan tugas dengan baik. sebagai hadiahnya, aku membacakan cerita berjudul ‘Monster Mata’ ini adalah salah satu cerita kesukaan anak—anak di kelas. Ada beberapa dari mereka yang hafal alur dan dialog ceritanya. Saat sedang asyik membaca cerita, pintu kelas di ketuk berkali-kali. Bukan ketukan indah untuk didengar, aku membukanya. Wanita bertubuh besar, berhidung mancung itu tegap berdiri di depan kelas. Aku memanggilnya Nenek Koyar. Aku sambut dengan senyuman terbaikku, tapi tak mendapatkan balasan.
“Iya nenek, ada apa? mau ada perlu ka deng Mega?,” aku menebak mungkin saja si Nenek mau panggil cucunya. Disini masih sering terjadi orang tua memanggil anaknya untuk disuruh sekalipun jam belajar. Wanita berkepala 5 ini masih diam tak bergeming, ia menata ulang pinang yang ada dimulutnya. “ tarada, sa ada perlu deng ibu.” jawabnya tegas. Aku mengangguk pelan
“Kasih kembali kunci perpustakaan, dong belum bayar sa pu uang batu. Kemarin Bapak ada angkat kunci dan kasih deng ibu to? Kalau ibu mu pi buka, bayar sa pu uang dolo,” kalimat pertama dan dilanjut dengan kalimat makian yang luar biasa keras sehingga membuat anak—anak dikelas ketakutan.
“cukimayu’o... Kambing...” ini adalah salah satu makian yang lumrah. Aku mencoba untuk tenang dan mencerna semua yang disampaikan.
“Nek, sa tara bawa kunci hari ini. sa janji sa tara buka perpustakaan sampai urusan selesai. Jadi nenek tara usah khawatir.” jawabku sedatar mungkin.
“kalau sampai sa liat ibu ada buka perpustakaan, sa palang itu pintu atau sa kasih bakar sekalian.” aku tak lagi menimpali ucapan si nenek. Nenek itu pergi sambil terus memaki, aku tetap berdiri demi melihat si Nenek hilang dari halaman sekolah. Anak –anak berhambur mendekatiku
“Ibu, tara papa to. Aduh ibu’e sa takut setengah mati.” kata Ona dan di sambung anak—anak yang lain. Mereka mengusulkan kalau ada seperti itu lagi, lebih baik Ibu pi sembunyi sudah. Mereka selalu saja menawar emosi yang sedang bergelayut di atap hatiku. Perpustakaan itu masih jadi sengketa sejak kedatanganku, padahal bangunannya sudah gagah berdiri tinggal disini buku dan anak –anak bisa menikmati. Hanya karena masalah uang batu yang tak kunjung dibayar menyebabkan perpustakaan ini dipalang berbulan—bulan. Hari ini nenek Koyar memintaku untuk membayarnya. Membayarnya? Mana mungkin ini bukan kewajibanku, meskipun aku harus melihat gurat sedih diwajah anak—anak saat aku menyatakan ‘kita tidak akan membuka perpustakaan sampai urusan selesai’. Tak seharusnya anak—anak tahu masalah uang batu itu bukan? Tapi apa boleh buat Nenek Koyar telah membuat seluruh penduduk sekolah tahu akan hal ini.

Sejak hari itu aku semakin tidak akrab dengan beliau, aku sudah mencoba membuka diri untuk menyapa atau sekedar melempar senyuman tapi nenek memberikan wajah flatnya. Aku pikir ini akan berjalan sampai akhir penugasanku disini, ini bukan hal yang aku inginkan tentunya. Masalah uang batu itu terkubur berlahan, aku tidak pusing dengan perpustakaan toh anak—anak bisa baca buku di kelas.
Hari ini 28 Oktober 2013, aku dan anak –anak sedang menyiapkan diri untuk ikut kegiatan “pesta siaga’ di Fakfak. Beberapa persiapan telah matang dan tinggal pemantapan untuk tarian sebagai hiburan di opening ceremony. Kami mendapat kesempatan untuk menampilkan tarian Timor dan lakadinding untuk OC. Dari kemarin beberapa orang tua murid sibuk mencarikan seragam baru, perlengkapan pramuka baru dan segala hal. Ini poin positif yang mendukung kelancaran kegiatan bukan? Sore lepas asar segerombolan mace—mace datang kerumah menyebabkan aku dan Mama piaraku bingung. Ada apa gerangan mace—mace ini datang? Ekspresinya tidak begitu santai jadi aku enggan mengira—ira. Nenek Koyar memimpin mace—mace duduk di depan teras. Tanpa harus dipancing, mace—mace ini mengutarakan maksudnya. Luar biasa mulia maksud kedatangan mace –mace ini. “ Jadi ibu, tara usah khawatir deng ongkos taksi. Katong pi sana mau bantu ibu awasi dong. Katong tara bisa bayangkan, ibu sibuk urus makan dong, kegiatan dong. Jadi ibu urus kegiatan supaya katong bisa masak untuk dong.” tegas Nenek Koyar.
Kalian tahu bagaimana rasaku saat nenek Koyar mengutarakan hal itu? Aku senang bukan kepalang bukan karena esok ada yang bantu pas di fakfak tapi lebih karena kekakuan yang terjadi beberapa minggu terakhir karena uang batu itu akan hilang. Aku mengiyakan dan berkali aku mengucapkan terimakasih karena kesediaan mace—mace untuk membantu aku dan anak –anak.
Sempurna, hari rabu 29 Oktober 2013. Mace—mace telah bersiap di depan rumah, beberapa mereka ada yang membawa tagas—tagas (Sayuran yang terdiri dari daun singkong, pepaya&kangkung) ada yang menyumbang beras satu kresek, membawa ikan segar. Aku begitu terharu saat mace—mace itu mengumpulkan sumbangan bahan makanan. Tuhan, ini tak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya. Well, setelah persiapan mantap kami naik taksi biru milik Pakde yang sudah menunggu sejam yang lalu. Kami memilih untuk berangkat lebih pagi demi menghindari hujan diperjalanan, karena beberapa ruas jalan sedang di bongkar yang mengakibatkan kami harus lewat jalur darurat yah sedikit mengerikan karena berlumpur. Nenek koyar memang punya power lebih diantara mace—mace yang ada disini, idenya selalu diterima oleh Mace- mace. Tak kusangka memang Nenek Koyar punya sesuatu yang berbeda. "Memang nenek Koyar tra kosonge..."